Dewasa ini kita sering mendengar tentang konflik beragama, kerusuhan antar agama, pembubaran tempat kegiatan beragama, dan lain lain. Hal itulah yang membuat tim kami tergugah untuk mengangkat materi tentang “Apakah Toleransi Beragama masih ada diIndonesia?”. Mengapa kami mengambil judul tersebut karena kami bertanya tanya apakah masih ada toleransi antar umat beragama di Indonesia tercinta kita ini?.Sebelum itu kami akan mengemukakan beberapa Berita tentang “Apakah Toleransi Beragama masih ada diIndonesia?”
1.
FUI Yogyakarta Minta
Universitas Kristen Duta Wacana Turunkan Baliho Mahasiswi Berjilbab
Mereka lantas meminta pihak kampus untuk menurunkan semua baliho yang menggunakan model mahasisiwi berjilbab tersebut. Sementara pihak kampus berdalih tema itu untuk menunjukkan keberagaman agama, suku, ras, dan etnis yang ada di dalam kampus —yang dianggap sebagai miniatur Indonesia.
“Kami mempunyai hak untuk keberatan. Pemakaian muslimah berjilbab oleh universitas Kristen sangat menyakitkan bagi kami,” kata koordinator Anggota Muda FUI Yogyakarta, M. Fuad Adreago, kepada Rappler, Kamis, 8 Desember.
Menurutnya, anggota FUI telah menemui rektorat UKDW pada Rabu, 7 Desember, dan meminta pihak kampus agar menurunkan baliho tersebut.
2. Penghentian Kebaktian Rohani di Sabuga Bandung jadi trending dunia
Insiden dibubarkannya Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Bandung yang
dilakukan oleh kelompok yang menyebut dirinya Pembela Ahlus Sunnah (PAS),
Selasa (6/12) kemarin, sempat menjadi topik yang paling dibicarakan di Twitter.Pada Rabu (7/12) dini hari, laman Twitter mencatat kasus ini menempati puncak perbincangan dengan tanda pagar (tagar) #BandungIntoleran.
Sampai pukul 03.30 WIB, sedikitnya sudah muncul 8.100 cuitan di tagar ini.
"Pak @ridwankamil kasihani kami minoritas ini... apa belum cukup kami di sebut2 KAFIR?" tulis pemilik akun Hendrix Tarihoran.
"Sumpah sebagai warga bandung&muslim gw merasa malu atas tindakan ormas yang masuk ke dalam sabuga mengganggu kebaktian," kata pengguna Twitter lainnya dengan nama akun Arya.
Cukup banyak juga pengguna Twitter yang mengaku Muslim ikut berkomentar dan meminta maaf atas insiden tersebut.
Seperti yang ditulis akun Asitah Xx: "Saya sebagai muslim mohon maaf atas kejadian yang ada di Bandung."
Sebagian lagi ada yang mengaitkan insiden itu dengan aksi doa bersama 2 Desember di Monumen Nasional (Monas) dan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.
"Gedung Sabuga ITB tempat umum, tidak boleh dipakai acara keagamaan. Monas? Jalan Raya? Bukan tempat umum?" tulis pemilik akun Alwendy Sumbung.
Acara kebaktian itu digelar di Gedung Sabuga, Jl. Tamansari Kota Bandung, dengan menghadirkan Pendeta Stephen Tong. Kegiatan terpaksa dihentikan sekitar pukul 20.20 WIB setelah massa PAS menginterupsi dengan mengatakan kegiatan tersebut bermasalah dengan perizinan.
Massa PAS juga membawa spanduk bertuliskan: "Masyarakat Muslim Jabar meminta kegiatan KKR pindah ke tempat yang telah disediakan (gereja) bukan di tempat umum".
3. Kasus Tanjungbalai
JAKARTA (Pos Kota) – Kasus konflik SARA (suku, ras, agama) terjadi lagi di
Indonesia, tepatnya di Tanjung Balai, Sumatra Utara, dengan melibatkan
kelompok Melayu-muslim dan Tionghoa yang beragama Budha. Pemerintah diminta
segera mengambil dua tindakan urgen.
“Pemerintah harus segera lakukan dua hal. Pertama, menegakkan hukum
terhadapsemua pihak yang terlibat dan bertanggungjawab atas kasus tersebut.
Kedua, melakukan langkah pencegahan meluasnya konflik tersebut ke
derah lain,” kata manan Ketua Komisi I DPR, Mahfuz Sidik, dalam rilisnya, Sabtu
(30/7) malam .
Menurut dia, kKonflik SARA di Tanjung Balai tidak boleh dianggap sepele. Ada
potensi letupan konflik yang lebih besar dan luas. Jika itu terjadi maka bisa
menjadi pintu kekacauan politik dan ekonomi baru di negeri ini.
“Apa pasalnya? Pertama, konflik SARA sedang menjadi tren dunia. Kekacauan
politik di kawasan Timur-Tengah yang melibatkan beberapa negara Eropa dan
Amerika Serikat telah memunculkan kekuatan teror baru yang menakutkan, yaitu
ISIS,” ujarnya.
Dia melanjutkan, buah dari rangkaian aksi teror yang terus berlanjut adalah
menguatnya sentimen negatif terhadap Islam dan ummat Islam.
Ini tercermin dari sikap politik kelompok ultra-nasionalis di beberapa
negara Eropa, sikap politik capres AS, Donald Trump, dan meningkatnya
tekanan terhadap kelompok muslim di India dan Tiongkok misalnya.
“Ada semacam cipta kondisi global untuk memosisikan Islam dan umat Islam
sebagai musuh bersama. Dan pada saat yg sama ISIS dan unsur2 pendukungnya terus
melakukan serangan terhadap siapapun yang dianggap lawan,” ungkapnya.
Kedua, menguatnya posisi dan peran politik kelompok minoritas yang mengusung
isu anti-kemapanan. Keberhasilan partai politik ultra-nasionalis (sayap kanan
jauh) menguasai pemerintahan dan mengubah kebijakan pemerintahan di sejumlah negara
eropa menjadi bukti nyata.
“Contohnya di Polandia, Italia dan juga kemenangan Brexit di Inggris.
Menguatnya dukungan thd Trump juga menjadi indikasi tambahan. Kekuatan politik
ini diprediksi akan mengusung isu yg berakibat meningkatnya konflik SARA di
berbagai negara,” tegas anggota DPR yang
Hal Ketiga, dalam konteks domestik Indonesia, kedua hal di atas juga sedang
terjadi. Isu terorisme makin menguat dan tidak bisa dipungkiri bhw isu ini
menggiring opini luas bhw islam (umat islam) sebagai ancaman.
“Ruang demokrasi juga sedang mencuatkan posisi dan peran politik yang
lebih besar kepada unsur minoritas. Sebut saja isu pilkada DKI. Kontestasi
pilpres yang lalu pun sebenarnya tak lepas juga dari nuansa isu SARA,”
tegasnya.
Keempat, harus diakui bahwa Indonesia menyimpan riwayat konflik SARA yang
panjang dan tetap menjadi bahaya laten. Faktor kesenjangan sosial-ekonomi tetap
menjadi pemicu paling mendasar.
“Kelima, ini yang perlu dicermati serius. Munculnya gejala arogansi dan
kontroversi kebijakan yg andipersepsi oleh unsur mayoritas sebagai upaya untuk
memenangkan agenda unsur minoritas. Sebut saja kontroversi penghilangan kolom
agama di KTP, penghapusan perda “syariah”, sejumlah kebijakan pemprov DKI yg
dianggap merugikan kepentingan umat Islam plus sikap-sikap sang gubernur
yang dinilai arogan,” tandas politisi PKS itu.
Menurut anggota Komisi IV DPR itu, kelima faktor skala global dan domestik
ini bisa bercampur-aduk sedemikian rupa dengan aneka bumbu. Hal ini
berjalan di atas realitas: Keberagaman masyarakat Indonesia, kesenjangan
sosial-ekonomi yg menguat akibat problem ekonomi yg makin berat, riwayat
panjang konflik bernuansa SARA, dan munculnya model kepemimpinan dan kebijakan
yg dipersepsi sbg pertarungan minoritas vs mayoritas.
Peristiwa Tanjung Balai (jika benar) diawali oleh protes seorang warga
keturunan thd adzan dari sebuah masjid. Suatu yang mengagetkan karena rasanya
belum pernah terjadi sebelumnya.
Apa yang mendorong warga tersebut melakukan protes yang memicu kemarahan?
Dan kenapa reaksi balik dari ribuan warga lainnya begitu dahsyat? Kasus
ini berpotensi menjadi apa bagi republik?
“Kasus Tanjung Balai merupakan peluit peringatan yg sangat keras buat bangsa
ini dan semua jajaran pemerintahan di pusat dan daerah. Pilihan kita adalah
berpihak pada kesatuan dan persatuan bangsa. Tetapi negara harus menegakkan
hukum terhadap siapapun yang terbukti merusaknya. Siapapun dia,” tegas Mahfudz.
Ditambahkannya, sambil negara memastikan bahwa dirinya
mampu menjadikan Indonesia sebagai tempat hidup yangg harmoni bagi semua anak
bangsa.
Menurut
saya dari informasi-informasi di atas saya berkesimpulan bahwa penyebab dari
masalah masalah tersebut ialah kurangnya rasa peduli, dan toleransi atas umat
beragama. Kebanyakan dari mereka ialah orang orang yang mempunya egoisme tinggi
yang ingin di anggap di dalam masyarakat dan kebanyakan dari mereka mengatas namakan agama sebagai landasan utama
mereka untuk bertindak atas apa yang mereka lakukan. Seperti yang kita ketahui
bahwasetiap agama yang ada walaupun berbeda keyakinan dan kepercayaan tidak pernah mengajarkan konflik, pertikaian,
perselisihan,apalagi permusuhan antar agama.
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat
(1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi
manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib
menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada
pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut
dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam
undang-undang.
Pada akhirnya pernyataan
terhadap “Apakah Toleransi Beragama masih ada diIndonesia?” akan kembali pada masing masing individu yang ada. Apakah kita akan terus
mempertahankan bhineka tunggal atau malah akan menjadikan
negara ini berkubu kubu berdasarkan agama,suku,dan ras. Siapa yang tau?